Udang Bakar Madu Banyu Mili

Kombinasi dari wisata air yang berpad dengan lezatnya Udang Bakar Madu yang sangat amat menggugah selera hanya bisa ditemukan di Jogjakarta tepatnya di Warung Banyu Mili. Beberapa artikel yang akan kami sajikan untuk anda kali ini ,bisa sangat membantu apabila anda ingin mencari informasi yang berikaitan mengenai Warung Udang Bakar Madu Banyu Mili. Dan dalam kesempatan kali ini kami akan memberikan beberapa artikel yang membahas dan mengulas mengenai Warung Udang Bakar Madu Banyu Mili


Siang itu terasa begitu menyegarkan di Banyu Mili Country Club yang dilengkapi dengan kolam renang, wahana air, hutan kecil, dan danau buatan. Beberapa anak berteriak gembira sambil bermain di wahana air, sementara yang dewasa asyik berenang atau duduk santai di pinggir kolam. Sebagian lainnya terlihat sedang menikmati makan di resto yang bersebelahan dengan kolam.


Udang Bakar Madu dan Kepiting Telur adalah menu nan juara yang menjadi andalan Banyu Mili Resto. Cobalah untuk mencicipi Udang Bakar Madunya, seketika terasa sensasi gurih yang dibalut rasa manis. Dagingnya terasa masih segar karena udang dan kepiting tersebut dibudidayakan sendiri oleh Banyu Mili. Menu lain yang tak kalah menggoda adalah gurame, ayam goreng kampung, cumi, dll. Aneka sayuran seperti kangkung tumis, karedok, sayur asem, cap cay, hot plate kangkung juga tersedia. Beberapa pilihan sambal dan minuman segar juga bisa menjadi pelengkap yang menambah nikmat.


Banyu Mili mudah dijangkau karena masih berada dalam kota, sekitar 15 menit bila naik mobil dari Malioboro. Tempatnya sangat luas, bisa menampung sekitar 1000 orang. Tak heran bila resto ini sering digunakan untuk resepsi pernikahan atau acara lainnya. Di sekitar lokasi ini terdapat pula beberapa rumah sewa dengan kapasitas 6 hingga 15 orang per rumah, antara lain Omah Cemara dan @Omahkoe. Sungguh, Banyu Mili adalah lokasi ideal untuk bersantai dan berwisata kuliner ketika Anda berlibur di Kota Jogja.


Banjir yang melanda Jakarta hari ini meninggalkan cerita menarik tentang Bu Saleh. Ia adalah pemilik warung jajanan dan teh manis di wilayah Sumur Batu, Jakarta Pusat. Bu Saleh bukan tipe pedagang yang mudah menyerah. Meski tak banyak, pelanggannya tetap. Mereka adalah para tukang ojek dan pedagang keliling. Setelah lelah berkeliling, para pedagang itu biasanya istirahat sambil mencicipi pisang goreng dan secangkir teh manis di warungnya. Bukan melulu soal uang, tapi kebersamaan, keakraban, telah menjadi ciri dari warung bu Saleh.


Beberapa dari pelanggan bahkan kerap nge-bon untuk makan di warung bu Saleh. Tapi bu Saleh tak pernah nyinyir dan sedih. Ia percaya bahwa rezeki ada yang mengatur. Kadang dalam suatu waktu, saya “nongkrong” di warung bu Saleh. Sambil menyeruput teh manis, saya bicara dengannya. Pandangannya tentang ekonomi kehidupan ini sederhana saja. Prinsipnya ”banyu mili”. Biar sedikit tapi terus mengalir.


Hujan deras yang melanda pagi tadi merendam sebagian dari Jakarta. Warung bu Salehpun terendam sampai sedengkul orang dewasa. Namun ia tetap tersenyum dan membuka warungnya di atas genangan air. Para pelanggannya pun tetap setia datang minum teh manis sambil mengangkat kaki dan membicarakan banjir. Ketel panas tetap membara menyeduh air panas untuk dibuat teh manis. Pisang goreng tetap tersedia untuk disantap para pelanggan.


Ketika saya tanya soal banyu mili (di atas banyu banjir), bu Saleh hanya tertawa. ”Banyu mili” tetap prinsip hidup saya mas, ujarnya. Filosofinya sederhana katanya. Meski tidak besar, rezeki diyakini akan terus mengalir. ”Mili” dalam bahasa Jawa berarti terus mengalir, walau tidak deras. Seperti sungai kecil, yang kendati sedikit airnya, tak berhenti mengalir. Penghasilan Rp10.000-15.000 per hari menurutnya patut disyukuri. Bukan jumlahnya, tapi pemberian pada hari itulah yang harus disyukuri.


Saya hanya bisa termenung. Pelaku ekonomi seperti bu Saleh inilah yang sebenarnya menjadi tulang punggung ekonomi kita. Pedagang kecil, pelaku UMKM, petani, dan nelayan, adalah mereka yang menggerakkan ekonomi negeri. Jumlah mereka mencapai lebih dari 90% pelaku ekonomi di Indonesia. Kontribusinya pada PDB juga melebihi 60%. Dan hal terpenting yang mereka miliki, yang jarang dimiliki oleh pengusaha besar/ konglomerat, adalah bahwa mereka tidak cengeng.


Di atas genangan banjir, di bawah tekanan hidup, bu Saleh tak pernah mengeluh. Ia tak meminta fasilitas, ia tak meminta suku bunga turun, ia tak meminta kemudahan kredit, ia tak meminta macam-macam. Menurut Filsuf Friedrich Nietzche, bu Saleh adalah personifikasi mereka yang berani mengatakan ”Ya” pada kehidupan. Merekalah yang seharusnya menjadi perhatian dan keutamaan bagi para pemimpin negeri dalam menjalankan kebijakan ekonominya.

Popular posts from this blog

Sate Petir Pak Nano

Kuliner Bahan Dasar Duren